Penulis: Ridho Ayub
Tanggal: 10 Mei 2025
Tag: khilafah, sejarah Islam, ideologi, Turki Utsmaniyah, sekularisme
“Kekhalifahan bukan sekadar simbol. Ia adalah jantung umat Islam. Ketika jantung itu dicabut, dunia Islam pun lumpuh.”
Tanggal 3 Maret 1924 menandai peristiwa kelam dalam sejarah Islam: penghapusan Kekhalifahan Utsmaniyah, sistem pemerintahan terakhir yang menyatukan umat Islam di bawah satu kepemimpinan. Dalam sidang Majelis Nasional Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Pasha, keputusan diambil untuk menghapus institusi khilafah dan mendirikan negara sekuler bernama Republik Turki.
Sejak itu, dunia Islam tak lagi sama. Peradaban yang pernah berjaya selama lebih dari 13 abad tercerai-berai, terpisah dari akar ideologinya, dan menjadi sasaran eksperimentasi ideologi Barat.
Mustafa Kemal dan Sekularisasi Radikal
Mustafa Kemal, yang kemudian dikenal sebagai Atatürk (Bapak Bangsa Turki), melancarkan reformasi sekuler yang radikal. Ia tidak hanya menghapus khilafah, tetapi juga mencabut sistem Islam dari pemerintahan dan kehidupan publik. Beberapa langkahnya meliputi:
Mengubah adzan dari bahasa Arab ke bahasa Turki (1932–1950).
Mengganti huruf Arab dengan huruf Latin (1928).
Membatasi penggunaan jilbab di institusi resmi (diperketat pasca-1980).
Menutup madrasah dan menggantinya dengan sekolah sekuler (1924–1933).
Mengganti hukum syariat dengan hukum sipil Eropa (1924–1926).
Ironisnya, reformasi ini dilakukan bukan oleh penjajah asing, melainkan oleh seseorang yang dianggap sebagai “penyelamat bangsa” Turki.
Dunia Islam: Terpecah dan Dijajah
Penghapusan khilafah bagaikan menghilangkan nakhoda dari kapal besar dunia Islam. Wilayah-wilayah yang dulunya bersatu di bawah Daulah Islam kini dipecah menjadi negara-negara nasional yang tunduk pada ideologi Barat, seperti nasionalisme, demokrasi, sosialisme, dan kapitalisme.
Palestina diambil Inggris melalui Mandat Palestina.
Suriah dan Lebanon jatuh ke tangan Prancis.
Irak, Yaman, dan Mesir dijajah dan diatur ulang oleh pemenang Perang Dunia I.
Kini, dunia Islam terbagi menjadi lebih dari 50 negara, masing-masing terikat pada batas-batas kolonial dan identitas nasionalisme sempit, mengesampingkan persatuan Islam.
Kepentingan Geopolitik: Inggris, Zionis, dan Kemal
Runtuhnya khilafah bukanlah peristiwa spontan, melainkan bagian dari dinamika geopolitik yang kompleks:
Inggris mendukung gerakan nasionalisme Arab dan Turki untuk melemahkan Kekhalifahan Utsmaniyah.
Zionis berupaya mendapatkan tanah Palestina, yang ditolak Sultan Abdul Hamid II, namun terbuka setelah khilafah runtuh.
Penghapusan khilafah memuluskan jalan bagi Deklarasi Balfour (1917) dan pendirian Israel (1948).
Meski tidak ada bukti konspirasi langsung, kepentingan Barat dan Zionis jelas diuntungkan oleh peristiwa ini.
Indonesia: Respons dari Timur
Jauh di Hindia Belanda (kini Indonesia), umat Islam turut merespons kemunduran dunia Islam. Surat kabar seperti Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië menyiarkan berita penghapusan khilafah. Organisasi Islam mulai memperkuat perjuangan mereka:
Persatuan Islam (Persis), didirikan pada 1923, menyerukan pemurnian Islam dan persatuan umat.
Muhammadiyah (1912) dan Sarekat Islam (1905, resmi 1912) telah ada sebelumnya, namun semakin aktif menyuarakan pentingnya sistem Islam.
Meski tidak semua organisasi ini lahir sebagai respons langsung terhadap 1924, mereka mencerminkan keresahan umat Islam terhadap krisis global.
Refleksi: Ketika Wahyu Diganti Akal
Penghapusan khilafah bukan sekadar perubahan politik, melainkan pemisahan Tuhan dari kehidupan manusia. Hukum Allah digantikan oleh hukum buatan manusia, dan dunia Islam kehilangan arah. Akibatnya, umat Islam menghadapi berbagai krisis:
Kemiskinan struktural.
Korupsi politik.
Radikalisme dan ekstremisme.
Krisis identitas di kalangan generasi muda.
Tanpa sistem Islam yang menyatukan, umat Islam hanya menjadi bayang-bayang kejayaan masa lalu.
Penutup: Mungkinkah Khilafah Kembali?
Pertanyaan tentang kembalinya khilafah sering dianggap sensitif. Namun, sejarah membuktikan bahwa selama 13 abad, dunia Islam berkembang di bawah sistem yang berlandaskan wahyu. Khilafah bukan utopia—it pernah ada, pernah jaya, dan bisa kembali.
Syaratnya, umat Islam harus kembali pada sistem Tuhan yang telah terbukti menciptakan peradaban gemilang, bukan hanya untuk Muslim, tetapi untuk seluruh umat manusia.
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.”
(QS. As-Saff: 8)
© 2025 Ridho Ayub — ayub.zone.id