Generasi Z di Indonesia menghadapi beragam problematika serius yang menuntut perhatian segera. Pertama, kesehatan mental menjadi sorotan utama dengan prevalensi depresi tertinggi di antara kelompok usia 15–24 tahun mencapai 2% menurut Survei Kesehatan Indonesia 2023 . Kedua, sistem pendidikan formal sering kali ketinggalan dalam mengakomodasi kebutuhan belajar yang adaptif dan digital-native, dengan kurikulum kaku dan kurangnya integrasi teknologi dalam proses belajar-mengajar . Ketiga, ketidakpastian ketenagakerjaan tercermin dari tingginya angka pengangguran terbuka 15–24 tahun sebesar 15,34% dan proporsi NEET (Not in Employment, Education, or Training) mencapai 20,30% di kalangan Gen Z . Keempat, kecanduan media sosial serta ketergantungan internet memicu gangguan produktivitas, isolasi sosial, dan risiko cyberbullying . Kelima, tekanan ekonomi serta kesulitan berwirausaha memperburuk ketidakstabilan kesejahteraan Gen Z, meski kontribusi mereka terhadap ekonomi digital terus meningkat .
1. Kesehatan Mental
1.1 Prevalensi Depresi dan Kecemasan
Berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan, prevalensi depresi pada populasi usia 15–24 tahun—yang merupakan rentang usia Generasi Z—adalah 2%, tertinggi di antara semua kelompok umur . Namun ironisnya, hanya sekitar 10,4% yang mencari pengobatan atau konseling, menandakan kesenjangan besar antara kebutuhan dan akses layanan kesehatan mental . Fenomena ini diperparah oleh stres akademik, tekanan sosial terkait pencitraan di media sosial, dan ketidakpastian masa depan akibat perubahan ekonomi global (╥﹏╥) .
1.2 Minimnya Layanan dan Stigma
Stigma terhadap gangguan jiwa masih kuat di masyarakat Indonesia, sehingga banyak remaja dan dewasa muda ragu untuk terbuka atau mencari bantuan profesional . Selain itu, distribusi layanan psikolog atau psikiater di Indonesia masih sangat terbatas, khususnya di luar kota besar . Padahal, 85% Gen Z menganggap kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, tetapi ketersediaan fasilitas dan terjangkaunya biaya menjadi penghalang utama .
2. Sistem Pendidikan
2.1 Kurikulum dan Metode
Kurikulum formal di banyak sekolah dan perguruan tinggi masih bersifat top-down, kurang mempertimbangkan gaya belajar interaktif dan digital yang sangat dekat dengan keseharian Gen Z . Kurikulum yang kaku ini membuat siswa merasa materi tidak relevan dan kurang memotivasi mereka untuk berpikir kreatif atau menerapkan teknologi baru dalam proyek pembelajaran . Padahal, Generasi Z memiliki kecenderungan belajar visual dan praktis, sehingga perlu model pembelajaran blended learning atau project-based learning yang lebih menarik (・_・) .
2.2 Akses dan Kualitas Guru
Tidak semua pendidik memiliki keterampilan digital yang memadai atau memahami karakteristik Gen Z, sehingga metode pengajaran seringkali monoton dan kurang interaktif . Infrastruktur teknologi di sejumlah sekolah—seperti koneksi internet yang lambat dan perangkat yang terbatas—juga menjadi kendala serius dalam implementasi pembelajaran online atau hybrid . Solusinya membutuhkan pelatihan intensif bagi guru dan investasi infrastruktur oleh pemerintah, agar pendidikan bisa menyiapkan Gen Z menghadapi dinamika abad ke-21.
3. Ketenagakerjaan
3.1 Pengangguran dan NEET
Tingkat pengangguran terbuka di kalangan usia 15–24 tahun mencapai 15,34%, jauh di atas rata-rata nasional, sementara proporsi NEET (tidak bekerja, tidak sekolah, tidak pelatihan) untuk usia yang sama mencapai 20,30% . Bahkan menurut data terbaru, terdapat sekitar 9 juta Gen Z yang kategorial NEET per Agustus 2024, mencemaskan masa depan mereka apabila kondisi ini terus berlanjut .
3.2 Ketidaksesuaian Keterampilan
Banyak lulusan SMA atau perguruan tinggi Gen Z yang mengalami mismatch antara kompetensi yang dimiliki dengan kebutuhan industri, terutama dalam bidang digital dan teknologi . Hal ini memicu tekanan untuk mengikuti pelatihan mahal atau kursus singkat guna meningkatkan keterampilan, yang belum tentu diakses oleh semua kalangan karena hambatan biaya dan informasi . Imbasnya, persaingan kerja semakin ketat, dan Gen Z harus terus meng-upgrade diri agar tak tergilas perubahan cepat di pasar tenaga kerja.
4. Kecanduan Digital
4.1 Media Sosial dan Overload Informasi
Media sosial telah menjadi platform utama untuk berkomunikasi, mendapatkan berita, dan belajar bagi Gen Z, namun penggunaan berlebihan memicu kecemasan, FOMO (fear of missing out), dan gangguan fokus dalam belajar atau bekerja . Cyberbullying dan eksposur konten negatif juga memberi dampak buruk pada kesehatan mental mereka, menambah beban stres yang seharusnya bisa diminimalisir .
4.2 Isolasi Sosial dan Burnout
Ketergantungan pada gadget dan internet menyebabkan berkurangnya interaksi tatap muka, yang penting untuk membangun keterampilan sosial dan empati . Bahkan 75% Gen Z melaporkan mengalami burnout sebelum usia 30 tahun karena multitasking digital dan tekanan produktivitas tanpa henti . Upaya pembatasan waktu layar dan aktivitas offline seperti olahraga atau kegiatan komunitas perlu didorong agar keseimbangan hidup mereka terjaga.
5. Ekonomi dan Kesejahteraan
5.1 Biaya Hidup dan Perumahan
Kenaikan biaya hidup di kota-kota besar membuat Gen Z kesulitan menabung untuk kebutuhan masa depan seperti perumahan, pendidikan lanjutan, atau modal usaha . Gaji awal pekerja muda seringkali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, sehingga memaksa mereka tinggal lama bersama orang tua atau mencari alternatif penghasilan sampingan.
5.2 Wirausaha dan Akses Modal
Di sisi lain, semangat kewirausahaan Gen Z tinggi, terutama dalam ekonomi digital, tetapi akses modal dan jaringan masih menjadi kendala utama . Banyak startup kecil milik Gen Z gagal berkembang karena kurangnya pendampingan, modal, dan pemahaman pasar yang mendalam. Pemerintah serta lembaga keuangan perlu memberikan kemudahan kredit mikro dan program inkubasi untuk memacu pertumbuhan wirausaha muda.
6. Isu Sosial dan Identitas
6.1 Tekanan Sosial dan Standar
Generasi Z tumbuh di era media sosial yang menampilkan standar kecantikan, kesuksesan, dan gaya hidup yang ideal, sehingga menimbulkan tekanan untuk selalu tampil “sempurna” . Akibatnya, banyak di antara mereka mengalami stress, gangguan citra tubuh, dan rasa tidak percaya diri yang memengaruhi kualitas hidup sehari-hari.
6.2 Kesadaran Iklim dan Aktivisme
Di sisi positif, Gen Z menunjukkan kepedulian tinggi terhadap isu lingkungan dan keadilan sosial, terlibat aktif dalam gerakan climate strike dan kampanye digital untuk perubahan kebijakan . Kekuatan literasi digital mereka bisa menjadi modal penting untuk mendorong advokasi dan inovasi solusi berkelanjutan di Indonesia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Problematika Generasi Z di Indonesia sangat kompleks, meliputi ranah mental, pendidikan, ketenagakerjaan, digital, ekonomi, dan sosial. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang terjangkau, reformasi kurikulum, program pelatihan keterampilan, dukungan kewirausahaan, serta literasi digital yang seimbang. Dengan langkah nyata dan sinergi antarpemangku kepentingan, harapannya beban Gen Z bisa dikurangi, potensi mereka terasah, dan masa depan bangsa lebih cerah :)